Kala Remaja Mulai Berani Sembunyi-sembunyi

[dari 5 Guru Kecilku – Bagian 2]

Pagi itu seperti biasa saya meninggalkan Ali belajar secara mandiri dalam kegiatan homeschooling karena harus menyusui bayi. Setelah selesai menyusui, saya bekerja di dapur sambil turut mendengarkan materi ceramah dari syeikh Yasir Qodhi yang menjadi mata pelajaran pembuka homeschooling hari itu. Namun hati saya tergerak untuk mendekati Ali. Tiba-tiba Ali bergerak kaget menyembunyikan sesuatu dibalik selimutnya, kebetulan cuaca pagi itu sangat dingin, sehingga ia melakukan kegiatan homeschooling sambil berselimut.

“Ali sedang apa nak? Coba sini ummi mau liat” Ali pun ketakutan, saya yakin ia sadar bahwa ia tengah berbohong. Saya melihat barang dibalik selimut, ternyata sebuah handphone. Handphone itu memang tidak bisa mengeluarkan suara karena rusak sehingga tidak lagi saya gunakan. Hanya saja handphone tersebut masih dapat terkoneksi dengan internet dan masih dapat mengeluarkan suara melalui earphone. Biasanya saya pinjamkan pada Ali untuk membuka aplikasi quran saat mengaji dan hafalan. Saya buka apa yang sedang ia lihat di channel youtube. Meski saya kecewa, tapi minimal saya bersyukur bahwa yang ia lihat bukanlah hal yang haram. Ali melihat video cara pembuatan elevator dengan menggunakan aplikasi games yang sangat terkenal di kalangan anak-anak, M*n*cr*ft.Saya memintanya mematikan materi ceramah untuk berdiskusi. Saya bertanya mengapa ia harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Mengapa ia tidak menyampaikan keinginannya kalo ia ingin menonton itu. Bahkan saya pun menyatakan, sekiranya memang ia menginginkan kegiatan sambilan selagi mendengar ceramah, sebagaimana saya pun bisa mendengarnya sambil mencuci piring, mengapa ia tidak mengajukan permintaannya pada saya. Saya tegaskan, dalam keluarga kami, semua anak berhak menyatakan keinginannya sekalipun berbeda pandangan dengan orang tua. Namun tidak boleh berbohong atau melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Saya tegaskan, bahwa jika tidak ada aturan yang menjadi kesepakatan, maka perbuatan tersebut tidaklah melanggar aturan apapun . Karena hal tersebut hanyalah kesepakatan bersama orang tua. Tetapi jika melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi maka itu artinya sudah membohongi orang tua. Membohongi orang tua berarti melanggar perintah Allah. Maka bagi kami, agar anak tidak perlu berbohong, aturan diantara anak dan orang tua perlu dibicarakan kembali agar semua pihak memiliki kemudahan dan kelapangan hati dalam mematuhinya.

Meski saya sangat kecewa, alhamdulillah saat itu saya dimudahkan untuk tetap berkomunikasi dengan nada yang tenang, dan datar. Lalu saya tutup nasihat saya dengan sebuah tugas. “Ummi minta aa tuliskan dalam sebuah kertas, apa yang selama ini aa inginkan dan belum dipenuhi ummi dan bapak, supaya aa tidak perlu melakukan dengan curi-curi dibalik kami” Lalu sebuah kertas kosong terisi dengan sebuah kalimat “Aa ingin main m*n*cr*ft supaya aa bisa belajar mendesign”. lalu saya memintanya untuk mengajukan proposal tersebut pada ayahnya. Dalam keluarga kami, beberapa keputusan besar berada di tangan sang ayah, sementara saya hanya memimpin dalam tataran pelaksanaannya. Memang sudah lama Ali pernah mewacanakan bahwa teman-teman seusianya bermain aplikasi tersebut bahkan sebagian dari mereka membeli lisensinya. Namun selama ini kami mengarahkan kegiatan hiburan dan bermain anak-anak pada sarana lain. Jika anak-anak menginginkan permainan yang berkaitan dengan multimedia, maka kami cenderung memilihkan permainan yang memiliki konten edukasi yang lebih banyak. Itupun dilakukan dengan durasi yang tidak lebih dari satu jam, dibawah pengawasan dan dilakukan setelah melakukan semua kewajiban. Selama ini, Ali lebih banyak menghabiskan jatah multimedianya untuk mendesain 3D dan belajar programming Java Script dan Scratch.

Malam itu Ali menyerahkan kertas permohonannya pada sang ayah.Sebagaimana umumnya makhluk bernama laki-laki para laki-laki, terlebih sang ayah yang berprofesi sebagai IT engineer, memang sulit bekomunikasi basa-basi. Malam itu, perngajuan proposal Ali yang dilakukan tanpa pendampingan saya, berujung pada keputusan”tidak”. Ali pun menghampiri saya dengan wajah sedih “kata bapak gak boleh” tuturnya dengan sedih. “kalo bapak sudah bilang begitu,ya sudah berarti gak boleh” jawab saya.

Malam itupun saya langsung rapat bersama bapak, saya bertanya mengapa jawabannya langsung saklek “tidak”. Bapak pun menjawab, bapak sudah berikan aplikasi lain kalo memang tujuannya untuk belajar mendesain. Bapak sudah mencoba langsung aplikasi yang Ali minta. Bapak menyatakan bahwa aplikasi tersebut lebih banyak mudhorotnya dari pada maslahatnya.

Bagi mereka yang membeli lisensi aplikasi tersebut, memang dapat memanfaatkannya untuk bermain, membuat desain, memprogram games dan aplikasi lainnnya. Namun kenyataannya, anak-anak seusia Ali lebih banyak memanfaatkan aplikasi tersebut untuk menikmati permainan yang disuguhi oleh server yang mengembangkan permainan ini menjadi games online. Karena anak-anak seusia Ali memang masih belum cukup memiliki kompetensi untuk memanfaatkan aplikasi ini untuk hal yang lebih produktif. Kami merasa aplikasi ini lebih banyak mudhorotnya justru karena siapapun bisa mengembangkan dan menjual aplikasinya sesuai seleranya. Sebagai keluarga yang menjungjung tinggi produktifitas waktu dan berupaya menghindari keluarga dari perbuatan yang sia-sia, maka dalam pandangan kami, masih banyak aplikasi lain yang bisa Ali gunakan untuk memanfaatkan waktu 1 jam yang memang merupakan haknya untuk bersantai didepan multimedia.

Keesokan harinya, saya pun menjelaskan panjang lebar tentang alasan sang ayah yang menolak proposalnya. Saya paling tidak mau membiarkan seorang anak merasa kecewa karena berbeda pendapat tanpa mengetahui secara detail motif orang tua dalam mengambil keputusan. Saya mengerti Ali sangat kecewa. Saya sarankan untuk lebih memanfaatkan aplikasi yang sudah kami pilihkan dalam mengasah kemampuannya dalam mendesain. Saya tidak menyangka, kekecewaannya berujung pada pengulangan sikap dalam menyembunyikan apa yang ia harapkan. Dua hari kemudian, kejadian “sembunyi-sembunyi” itu terulang. Malam sebelum tidur, bapak mendapat ilham untuk mencari handphone rusak itu. Ali pun menjawab tidak tau ketika ditanya, bahkan ia turut membantu mencari. Ketika subuh tiba, saat Ali ke kamar mandi mengambil wudhu, bapak meminta saya ke kamarnya dan melihat barang yang disembunyikan dibalik bantal. Hanya istigfar yang bisa saya ucap sambil merenung bahwa jika anak sampai berani melakukan perbuatan sembunyi-sembunyi, maka pasti ada hak yang belum kami penuhi.

Setelah shalat berjamaah saya membuka sebuah diskusi
ummi: “Ali, kamu tau gak kisah temen ummi yang mobilnya di angkut towing truck hanya karena stiker ijin parkir di pinggir jalannya sudah habis? Menurut Ali apakah kita berdosa secara syariat memarkirkan mobil?”
Ali: “gak”
ummi: “betul li, mungkin secara syariat harusnya gak dosa, tapi karena itu adalah aturan di kota kita, maka mobil tersebut melanggar aturan. Dalam islam kita diperintahkan untuk menaati aturan pemimpin selama aturan tersebut tidak melanggar perintah Allah. Artinya seandainya aturan tentang stiker ijin parkir di pinggir jalan itu tidak ada, harusnya temen ummi itu gak bersalah. Begitu juga dirumah kita, mungkin ada perbuatan yang seharusnya mubah dalam pandangan syariah. tetapi menjadi sebuah pelanggaran kalau ada larangan yang menjadi kesepakatan antara kita. Ummi mendapat kabar dari Allah, ada yang sedang berbohong di rumah ini. apakah bapak sedang berbohong sama ummi?”
bapak: “nggak”
ummi: “apakah Ali sedang berbohong sama ummi dan bapak?”Ali pun mulai ketakutan. Namun saya memintanya berterus terang. menegaskan bahwa kebohongan akan melahiran kebohongan yang lain. Maka lebih baik terus terang meski itu akan melahirkan konsekuensi tersendiri. Akhirnya kami memintanya untuk mengambil handphone yang ia sembunyikan malam hari. Kamipun memintanya membuka aplikasi yang ia mainkan malam itu. Lagi-lagi video tutorial pembuatan sesuatu dengan menggunakan aplikasi m*n*cr*ft yang ia tonton. Saya sangat mengerti perasaan seorang remaja yang ingin bisa merasakan hal yang sama dengan teman-temannya. Namun bagaimanapun kami memiliki kemerdekaan untuk menentukan apa yang terbaik bagi keluarga kami tanpa memandang apa yang lazim di luar sana.
ummi: “Ali kenapa Ali memilih berbohong waktu bapak tanya tentang handphone?”
Ali: “Ali takut bapak marah”
ummi: “berarti Ali tau kan ada yang Ali langgar. Mungkin betul bapak akan marah kalau seandainya kamu jujur. Tapi Aa harus ingat bahwa kami akan lebih marah saat tau bahwa aa berbohong, dan yang lebih menyedihkan kami akan berkurang rasa kepercayaannya pada aa”Saya pun menggambarkan sebuah skema tulisan MARAH dengan ukuran font yang berbeda untuk menunjukan padanya bahwa ia akan semakin lebih banyak memiliki masalah saat berbohong.
ummi: “oke Ali, ummi dan bapak mengerti kamu ingin sekali memiliki aplikasi ini, tolong kami minta proposalnya dilanjutkan. Kenapa harus aplikasi m*n*cr*ft kenapa tidak dengan aplikasi yang sudah ummi bapak beri?”
Siang itu ia mencoba menyusun kembali proposalnya, meski hanya berhasil menambahkan beberapa kata “Ali ingin punya m*n*cr*ft supaya Ali bisa mendesain lift dan elevator, bisa membuat program games. Ali akan membeli aplikasinya dengan cara bekerja pada ummi dan bapak”. Agak sedikit gemas sebenernya dengan respon sang ayah yang masih yakin bahwa proposalnya bisa dipenuhi dengan aplikasi lain yang selama ini kami berikan. Terlebih kami tau bahwa anak seusia Ali pada umumnya masih berperan sebagai user. Kebanyakan diantara mereka menggunakan aplikasi ini untuk bermain games online peperangan yang memang sama sekali tidak diijinkan dilakukan didalam rumah kami. Sebagai seorang wanita, saya berusaha menguraikan keputusan ketegasan sang ayah dengan kalimat yang dapat dipahami sang anak. Ali sempat menangis, ia begitu yakin kalaupun ia melanjutkan proposal itu, sang ayah pasti tidak akan membelikan untuknya.

“Ali sayang, begini nak. misalnya kamu meminta sebuah mobil pada kami. Padahal mobil itu hanya ingin kamu gunakan pergi ke warung depan yang bisa ditempuh dengan sepeda. Maka bapak dan ummi akan lebih memilih membelikan kamu sepeda walau kami tau kamu bisa pergi ke warung itu dengan mobil. Namun kalau kamu dibelikan mobil, maka mobil itu bisa digunakan pada tujuan yang lebih jauh yang mungkin lebih banyak resikonya. Itulah mengapa bapak dan ummi sampai sekarang tidak mau membelikan aplikasi itu untuk kamu”

Ali mengerti apa yang saya maksud namun ia tak bisa menyembunyikan perasaaan kecewanya terhadap kami. Bagaimanapun saya pernah melewati masa-masa remaja. Dan saya begitu memahami, memiliki kesamaan dengan teman-teman lain adalah bagian dari kebahagiaan seorang remaja. “oke Ali, coba sini ummi mau nonton di youtube film m*n*cr*ft yang kamu bilang untuk cari ide desain itu seperti apa. film yang bikin aa memilih untuk berbohong dan mendekatkan diri dengan neraka. Ayo sini, supaya Ali gak perlu bohong lagi sama ummi, biar ummi nemenin Ali nonton itu selama 15 menit setiap minggu. tapi Aa harus buktikan bahwa aa layak diberi aplikasi tersebut untuk mendesain dan memprogram dengan memanfaatkan aplikasi yang sudah ummi bapak kasih untuk aa. Tapi janji ya jangan sembunyi-sembunyi lagi dari ummi” Alhamdulillah Bapak dan Ali setuju dan sepakat. Ali pun menghapus air matanya. Ia begitu antusias mengajak saya menonton tutorial desain m*n*cr*ft. Ia begitu bahagia. Bahkan setiap minggu baru ia sering berkata “ummi ini sudah minggu baru, Ali boleh ambil jatah nonton m*n*cr*ft nya bareng ummi kan?”

(Anakku…..maafkan ummi dan bapak yang telah mengabaikan perasaan dan keinginanmu. Tapi maaf bagaimanapun kita memiliki nilai-nilai keluarga yang kita anut dalam memanfaatkan waktu)

Kami menyadari bahwa dunia ini begitu sementara. Maka kami selalu berusaha memanfaatkan waktu seproduktif mungkin yang diniatkan dalam kerangka ibadah. Karena kami tau, bahwa kebaikan yang kami niatkan sebagai ibadah saja belum tentu bernilai ibadah di sisi Allah. Maka kami berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya peluang ibadah yang menyebabkan Allah ridho memasukkan kami dalam jannah-Nya. Maka kami berusaha memastikan dalam setiap detiknya, anggota keluarga kami selalu dalam kegiatan yang positif. Rekreasi bagi kami haruslah berada dalam minimal 1 diantara 3 alasan. Silaturrahim, Olahraga, atau kegiatan yang dapat meningkatkan wawasan dan pengalaman. Maka kata-kata yang hampir setiap hari keluar dari mulut saya adalah mengabsen satu persatu kegiatan yang dipilih anak-anak dan memastikan mereka selalu dalam kegiatan yang positif. “dilarang nganggur di rumah ini!” begitulah kalimat yang sering saya ucapkan jika melihat anak-anak melamun tanpa kegiatan positif.

San Jose, California 7 desember 2014
Dari seorang ibu yang terus belajar mendampingi anaknya yang masuk usia remaja
Kiki Barkiah

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: