Ketika Hidup Harus Memilih

[dari 5 Guru Kecilku – Bagian 1]

Setiap keluarga pasti memiliki tantangan dan permasalahan tersendiri. Tidak satupun keluarga di dunia ini yang hidup tanpa permasalahan. Namun berbahagialah jika permasalahan yang kita hadapi bukan sebuah permasalahan yang mendekatkan kita kepada api neraka. Karena sesungguhnya musibah terbesar dalam kehidupan kita adalah jika permasalahan itu berkaitan dengan musibah agama. Namun kita berhak memilih apakah setiap permasalahan yang kita hadapi semakin mendekatkan kita kepada Sang Pencipta atau sebaliknya.

Begitu pula dalam dunia pengasuhan anak, tantangan demi tantangan akan selalu hadir dalam setiap fasa perkembangan anak-anak. Begitu juga dalam keluarga kami, satu per satu secara bertahap kami merajut, menyulam, dan menambal setiap kekurangan dalam membentuk kepribadian anak-anak.

Jujur, ada sedikit hal yang mengusik dada, jika melihat Shiddiq (5y) yang selama ini cukup memberikan tantangan dalam dunia pengasuhan anak keluarga kami. Meskipun masih terlihat wajar jika diukur dari faktor usianya, namun tetap memberikan PR tersendiri dalam menghadapinya jika dibandingkan dengan kematangan saudara-saudaranya pada usianya, atau bahkan kematangan Faruq adiknya yang berusia 2 tahun lebih muda.

Karena Shiddiq lah kami terus belajar, mencoba, gagal, lalu mencoba lagi, kemudian tambal sulam untuk meramu cara yang pas dalam menghadapinya. Namun saya akui, ketidaktepatan langkah kami dalam menghadapi fasa “terrible two” Shiddiq, cukup menyisakan PR panjang sampai hari ini. Meskipun kami melewati masa-masa “terrible two” Faruq yang lebih luar biasa, namun keluangan waktu, bertambahnya ilmu, dan fokusnya pikiran menjadikan fasa itu terasa terlewati dengan lebih baik jika dibandingkan dengan Shiddiq. Sehingga di usia Faruq yang 3 tahun, ia memiliki kematangan yang tidak pernah dicapai oleh kakak-kakaknya di saat usia yang sama. Dan terkadang kematangannya melebihi kematangan Shiddiq, abangnya.

Mengamati permasalahan Shiddiq, sering membawa pikiran saya untuk kembali pada masa 5 tahun silam. Fasa dimana dimana saya berusaha menjalankan kesemua peran secara “unggul”. Sebagai seorang wanita yang sangat aktif berorganisasi saat gadis, memang tidak mudah memilih untuk hanya berperan dalam urusan domestik rumah tangga. Meskipun secara sadar dan ikhlas saya memutuskan untuk mengabdi kepada keluarga di dalam rumah, namun segala cita-cita yang pernah saya tulis terperinci dalam sebuah daftar Visi Misi hidup, saya konversikan dalam bentuk peran yang dapat dilakukan dari dalam rumah. Saat itu saya begitu bersemangat untuk “berkarir dalam rumah”.

Sebuah usaha perdagangan dari dalam rumah saya rintis, demi mewujudkan cita-cita besar saya di bidang pendidikan. Berkantor di rumah adalah sebuah pilihan yang saya ambil, agar fungsi dan peran sebagai ibu tetap mampu saya jalankan namun cita-cita pun tetap dalam rintisan. Namun ternyata semua itu tidak mudah.

Jatuh bangun kami merintis, setiap merasa lelah saya dan suami selalu berdiskusi apakah langkah ini tepat dilakukan demi cita-cita terakhir kami, yaitu berkumpul di surga. Tak pernah saya lupa setiap kata penyemangat dari suami tercinta dalam mendukung cita-cita saya. Seorang laki-laki yang menurut pengakuannya baru saja berhijrah mendekat kepada Allah beberapa hari sebelum pertemuan kami. Seorang laki-laki yang meminang saya dengan sebuah janji untuk bersedia bersama berjuang di jalan dakwah. Lagi-lagi terkadang saya ingin mundur dan berhenti jadi pengusaha, namun lagi-lagi sang suami selalu menguatkan saya.

Memang tidak mudah untuk mundur ketika semua telah dirintis, apalagi saat itu berkaitan dengan hajat hidup karyawan yang terlibat dalam usaha. Mau tidak mau, suka tidak suka, target harus dikejar demi cashflow yang seimbang. Dan ternyata tidak mudah menjalankan peran ibu dengan optimal saat “target” dan “deadline” berbicara.

Saat itu, perilaku Shiddiq semakin menantang, caranya dalam mencari perhatian semakin menjadi. Satu per satu amanah saya lepas, satu per satu amanah didelegasikan, sampai akhirnya atas hidayah dari Allah, kini saya memilih untuk lebih fokus menjalankan peran domestik. saya hanyalah seorang manusia biasa yang Allah beri keterbatasan kemampuan untuk bisa optimal pada semua sisi. Ketika sebuah folder dalam otak harus dibuka, kenyataannya folder lain harus tertutup. Ketika “target” dan “deadline” berbicara, kenyataannya perhatian saya terhadap anak-anak alakadarnya, bahkan sekedar “anteng” saja.

Kesulitan saya di masa kini dalam menghadapi anak-anak, salah satunya adalah akibat adanya masa-masa yang terlewatkan bersama anak-anak. Sehingga kini, saya harus membayar dengan sedikit kerja ekstra. Alhamdulillah belum terlalu terlambat dalam merajut kembali yang tertinggal meski saya semakin sadar bahwa waktu tidak akan pernah kembali dan batang usia anak pun terus bertambah. Tidak mudah bagi kita untuk kembali mengulang masa-masa yang saya tertinggal itu.

Akhirnya saya menyadari bahwa hidup bukan hanya harus memilih apa yang terbaik namun juga harus memilih apa yg harus dikorbankan, serta memilih apa yang harus kita tunda saat ini. Dan setiap saat kita harus kembali menengok apakah pilihan kita mampu melahirkan kebahagiaan yang haqiqi.

“Berjuang itu ada caranya, gunakan cara yang kita bisa!” (Pesan dari Permata Nur Miftahur Rizki rekan seperjuangan di kampus 8 tahun lalu)

San Jose, California
Dari seorang ibu yang tengah menunda sebagian cita-citanya

Kiki Barkiah

Leave a comment