Masalah itu stimulus, Response itu pilihan

[Dari 5 Guru Kecilku – Bagian 1]

“Praaak!!!” Sebuah gelas keramik jatuh dari meja. Masing-masing orang pun memiliki respon yang berbeda.

Faruq (2.5y) berlari melapor: “ummi….. gelas auk jatuh”. Dengan sigap Shafiyah (6y) mendekati pecahan.

Shafiyah:  “Oo, I can help!”

Ummi : “no..no… Shafiyah! Kalo yg ini ummi gak ijinin bantu, makasih ya, biar sama ummi aja, bisa luka kalo kena pecahannya”

Untuk hal yang bersifat safety dan aturan syariat saya masih menganut aliran untuk tetap menggunakan pilihan kata “no” dan “jangan”.

Ummi: “hati-hati nak jangan deket-dekat! Ummi bersihkan dulu. Faruq mungkin naronya terlalu pinggir ya. Lain kali hati-hati ya!”

Shiddiq (4.5y) : “mmmmm…… dari pecahan gelas ini kita bisa bikin jadi mainan lho!” (Xixixixixixixi)

Setelah saya selesai memungut pecahan kaca yang besar, saya mengambil vacuum cleaner untuk membersihkan serbuk keramik yang tersisa. Kemudian Shiddiq menghampiri.

Shiddiq: “Ooo ummi, I can help you!” Kemudian saya mengijinkannya membersihkan seluruh pecahan gelas dengan vacuum cleaner.

Melihat peristiwa ini saya jadi merenung betapa sesungguhnya kisah hidup kita adalah serangkaian respon kita terhadap takdir yang Allah jadikan stimulus untuk kita. Bisa jadi beberapa orang memiliki kasus masalah yang sama namun mereka memiliki jalan cerita dan hasil akhir yang berbeda. Sebagai contoh, ada orang yang mengalami kemiskinan di masa kecil kemudian menjadi pengusaha sukses di hari tua. Namun tidak sedikit orang yang miskin memiliki keturunan yang tetap miskin.

Keseharian kita adalah kumpulan dari sekian masalah yang harus kita hadapi. Baik anak kecil, remaja, maupun orang dewasa, dituntut untuk memilih sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Kenyataannya, kebijaksanaan dalam memilih langkah pemecahan masalah tidak ditentukan oleh usia kita. Sehingga tidak jarang kita temui orang dewasa yang masih bersikap seperti anak-anak. Bahkan di media massa kita bisa lihat beberapa orang memilih cara yang sangat ekstrim dalam menyelesaikan masalahnya.

Kerasnya tantangan kehidupan, ternyata memaksa anak-anak untuk menghadapi berbagai masalah yang tidak ringan. Jadi teringat kasus anak yang bunuh diri karena gagal ujian nasional, bahkan pernah terjadi hanya karena putus cinta. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana seorang anak belum memiliki konsep diri yang cukup untuk menghadapi permasalahan.

Kondisi lingkungan dan pergaulan yang semakin kompleks, terutama banyaknya kasus kejahatan seksual, pergaulan bebas dll, menuntut kita untuk tidak menunda dalam mempersiapkan kematangan berfikir anak dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Jangan sampai anak-anak kita menjadi generasi yang matang secara fisik namun memiliki mental yang mentah dalam memecahkan masalah.

Sebagai orang tua, kita memiliki tugas untuk membantu menyiapkan pribadi anak-anak yang mampu memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam menghadapi masalah. Memberi kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil disekitarnya berarti membantu mematangkan kepribadian mereka untuk menghadapi tantangan hidup mereka yang lebih kompleks pada tahapan usia selanjutnya.

Bagi saya pribadi, beberapa prinsip berikut saya anut dalam membangun kemandirian, kematangan berfikir, serta kecakapan mereka dalam menyeselaikan masalah:

  1. Memberi kesempatan mereka untuk membantu walau hasilnya belum bagus.
  2. Hanya membantu keperluan mereka yang perlu dibantu
  3. Jika usia anak saya masih dibawah 7 tahun, kemudian ia meminta bantuan lebih karena ingin diperhatikan, biasanya saya tetap membantunya. Hal ini saya lakukan, dengan pertimbangan agar anak-anak tidak merasa bertubi-tubi dituntut untuk mandiri.
  4. Melakukan berbagai proyek bersama dengan pembagian peran. Semua terlibat dengan porsi beban sesuai kemampuan
  5. Stimulus mereka untuk memberi ide dalam penyelesaian masalah sebelum memberi arahan
  6. Apresiasi setiap bantuan mereka walau sederhana
  7. Fokus pada bagaimana solusi masalah, sebelum membahas merefleksi hikmah. Apalagi sibuk membahas siapa yang salah
  8. Selama keadaan aman dan tidak membahayakan, beri kesempatan anak menyelesaikan permasalahannya dengan sesama sebelum turun membantu.
  9. Ajari anak untuk meminta tolong dengan cara yang baik jika mereka merasa frustasi
  10. Tidak memberi pertolongan sampai anak memperbaiki cara meminta tolong dengan cara yang baik
  11. Selama keadaan masih aman, saya memilih untuk berkali-kali mengingatkan mereka akan tugasnya dibanding mengambil alih tugasnya namun mengerjakannya sambil marah-marah
  12. Saat kita meminta tolong untuk hal yang tidak wajib atau darurat, dalam keadaan tertentu saya menghargai jawaban anak saya yang berusia diatas 7 tahun yang mengatakan “mmm… honestly i dont want it!” Dan saya jawab “oke deh kalo gak mau”
  13. Saya mengajarkan cara menelpon bapak dalam keadaan darurat, cara penyelamatan saat terjadi kebakaran, cara berlindung saat gempa bumi, serta apa yang harus dilakukan saat ada orang lain yang akan melakukan pelecehan seksual.
  14. Stimulus mereka untuk melihat hikmah positif dari setiap kejadian yang tidak mengenakan.
  15. Membangun diskusi dengan suasana kondusif dalam merefleksi kejadian terutama saat mereka memilih solusi yang kurang bijak dalam menghadapi permasalahan
  16. Doakan anak-anak menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam menghadapi setiap persoalan

 

San Jose, California 16 April 2014

Kiki Barkiah

Leave a comment